Text
Suara HAti yang Memberdayakan; GAgasan Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Jayapura
Ketika menjabat Bupati Jayapura, banyak pihak datang ‘berguru’ kepadanya, karena sukses melaksanakan Program Pemberdayaan Distrik (PPD) yang kemudian diubah menjadi Program Pemberdayaan Distrik dan Kampung (PPDK). Program tersebut kemudian dibukukan menjadi sebuah buku yang berjudul ‘’Suara Hati yang Memberdayakan’’ yang diterbitkan dua edisi cetak (termasuk edisi revisi) dan edisi dalam bahasa Inggris.
HMS dalam wawancara dengan penulis (WIM Poli dan saya untuk buku edisi revisi, ‘’Suara Hati yang Memberdayakan’’ 2008, Penerbit ‘’Identitas’’ Universitas Hasanuddin Makassar) tidak semua menjawab pertanyaan yang diajukan. Namun pandangan salah seorang pejabat UNESCO yang terungkap saat makan malam di sebuah rumah makan di Jaytapura tahun 2006 layak dikutip. Orang asing tersebut mengatakan, dalam hal pembangunan, Kabupaten Jayapura lain dari kabupaten lainnya di Tanah Papua.
HMS menyadari bahwa ‘’Program Pemberdayaan Masyarakat’’ sudah ada dalam pikirannya ketika menjabat Ketua KNPI dan Ketua DPRD Jayapura (1999-2001), Dia mengamati pada saat sidang-sidang DPRD bahwa apa yang diprogramkan dari bawah, kadang-kadang tidak masuk dalam program tahunan. Dia mencoba memahami Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari Bank Dunia. Sebagai Ketua DPRD (1999), HMS berdiskusi dengan Samuel Padolo yang menjabat Ketua Badan Pengembangan Masyarakat Desa (BPMD) dan Ketua Bappeda Jayapura Purnomo.
‘’Dengan adanya otonomi, kita diberi wewenang untuk melakukan apa saja (sesuai aspirasi dan kemampuan setempat),’’ kata HMS yang kemudian mulai mengembangkan ide PPK.
Mengapa Bank Dunia memfokuskan pembangunan di kecamatan? Mengapa kita tidak mengambil fokus di kecamatan sebagai perpanjangan jangan dari pemerintah kabupaten, karena pemerintah kecamatan dekat dengan rakyat? Bank Dunia berani ke kecamatan, justru pemerintah tidak. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu alumni Pascasarjana Unhas 2003 ini.
Benih pemikiran tentang Program Pemberdayaan Masyarakat kian menyemangati HMS saat kembali dari lawatan ke luar negeri. Dia mengisahkan:
‘’Saya ikut studi banding ke Melbourne, kemudian ke Wellington. Di sana saya belajar tentang adanya sistem pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal. Ada hal tertentu yang mereka bisa kerjakan di lingkungan masing-masing. Mengapa hal ini tidak bisa diadopsi di Kabupaten Jayapura, Distrik, dan Kampung?
Benih di atas kemudian diperhadapkan kepada sebuah peluang untuk melahirkannya sebagai sebuah gagasan pada sidang DPRD tahun 2001. HMS menuturkan:
‘’Pada saat sidang Dewan pada tahun 2001, teman-teman eksekutif mengajukan Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja nDaerah (RAPBD). Pada saat pembahasan anggaran, saya menantang teman-teman di DPRD. Saya ingat waktu itu, ada belanja pembangunan sekitar Rp 126 miliar. Dengan mengambilmodel PPK, saya bertanya.’’kalau betul-betul kita ini wakil rakyat, mengapa tidak berani memberi dana ke kecamatan? Bank Dunia saja berani. Mengapa kita ini wakil rakyat tidak berani? Teman-teman di DPRD setuju. Dalam diskusi dengan Panitia Anggaran Eksekutif, kami minta Rp 1 miliar, tetapi eksekutif hanya setuju Rp 100 juta. Kami tolak, tetapi tahun depan harus ada sebuah bargaining. Kebetulan dalam perjalanan, 12 Oktober 2001, saya terpilih jadi Bupati Jayapura. Saya pikir apa yang sudah diperjuangkan, kini dapat diwujudkan’’.
Tentu tidak sulit HMS mewujudkan gagasannya di DPRD setelah menjadi Bupati. Dia menamakan programnya itu Program Pemberdayaan Distrik dan Kampung (PPDK). Dia mengakui, program ini lahir dari sebuah keberanian saja tanpa diawali kajian ilmiah. Sebagai sesuatu yang baru, ide ini pernah disebut gagasan yang ‘’gila’’. Program ini tidak serta merta didukung oleh sebagian pejabat di kalangan eksekutif dan legislatif.
‘’Banyak yang tidak setuju, karena harus dipotong dana Rp 24 miliar dari belanja instansi/dinas. Memang kebijakan ini tidak ilmiah, karena tidak ada kajian sebelumnya. Tetapi ada beberapa pertimbangan kuat yang mendasarinya. Sebut HMS:
Tidak tersedia versi lain